Rabu, 26 Ogos 2009

SALAM RAMADHAN.....





Selasa, 25 Ogos 2009

Fitnah terhadap wanita muslimah.

oleh: Naurah musfirah

Pada suatu dahulu,seorang wanita muslimah meninggal dunia d Madinah.Dijadikan
cerita,keluarganya mencari seorang wanita tukang memandikan mayat,tetapi
wanita (tukang memandikan mayat) adalah seorang yang buruk percakapannya..

Ketika memandikan mayat wanita muslimah itu,wanita (tukang memandikan mayat) tersebut mengata mayat itu dengan kata-kata yang sangat keji.Wanita(tukang memandikan mayat) itu berkata,"kemaluan inilah yang dipakainya untuk berzina!"

Astaghfirullahhalazim,tiba-tiba kedua tangan wanita itu melekat di tubuh mayat wanita muslimah yang dikejinya.Ia berusaha untuk melepaskan kedua tangannya itu tapi gagal.Orang-orang yang berada d luar yang sedang menuggu mayat itu dimandikan sudah mula risau kerana lama sekali wanita itu memandikan mayat.

Setelah pihak keluarga menyusul,barulah mereka tahu apa yang terjadi.Keluarga tersebut cepat-cepat mengirimkan orang untuk menanyakan hal tersebut kepada beberapa ulama' d Madinah.Ada ulama' yang menyuruh tangan wanita itu dpotong Dan dtanam bersama mayat tersebut.Ada yang suruh agar tubuh mayat itu sahaja yang dpotong untuk menyelamatkan wanita tukang memandikan mayat tadi.

Ulama' Madinah tidak boleh membuat keputusan tersebut,samada memotong kedua tangan wanita berkenaan atau memotong sebahagian tubuh mayat itu.Setelah keputusan ini tidak dapat dbuat,mereka pergi bertanya kepada Imam Malik bin Anas r.a..

Selepas mendengar cerita itu,Imam Malik r.a.terus datang ke tempat kejadian.Lalu beliau minta dberi kesempatan untuk mengusul tukang mandi itu dari bilik hijab.Ia bertanya kepada juru mandi itu(dari bilik hijab),"katakan dengan jujur apa yang telah kau tuduhkan kepada mayat ini?"Wanita itu menjawab dengan nada yang menyesal,"Aku telah menuduhnya berbuat zina ketika aku memandikannya!"

Setelah jelas dengan perkara itu, Imam Malik r.a. Berkata kepada anggota keluarga Dan saudara mara is mayat ,"Wanita tukang mandi itu telah melanggar hak is mayat.Ia telah melanggar hudud Allah Ta'ala,menuduh seorang wanita muslimah yang baik melakukan zina tanpa bukti Dan saksi seramai 4 orang.Jadi, IA harus menjalani hukuman 80 kali sebatan.Kalau hukuman itu telah dilaksanakan, InsyaAllah kedua tangannya boleh terlepas dari tubuh is mayat...".Setelah hukuman itu djalankan,barulah kedua tangan wanita itu terlepas dangan sendirinya!

Jumaat, 14 Ogos 2009

Pergi Tak Kembali

Setiap insan pastikan merasa
Saat perpisahan terakhir
Dunia yang fana akan ditinggalkan
Hanya amalan yang akan dibawa

Terdengar sayup surah dibaca
Sayu alunan suara
Cemas di dada lemah tak bermaya
Terbuka hijap di depan mata

Selamat tinggal pada semua
Berpisah kita selamanya
Kita tak sama nasib di sana
Baiklah atau sebaliknya

Amalan dan taqwa jadi bekalan
Sejahtera, bahagia pulang...kesana

Sekujur badan berselimut putih
Rebah bersemadi sendiri
Mengharap kasih anak dan isteri
Apa mungkin pahala dikirim

Terbaring sempit seluas pusara
Soal bicara terus bermula
Sesal dan insaf tak berguna lagi
Hancurlah jasad dimamah bumi

Berpisah sudah segalanya
Yang tinggal hanyalah kanangan
Diiringi doa dan air mata
Yang pergi takkan kembali lagi

#Setiap orang akan merasa saat kematian samada secara permulaan dengan sakit yang berpanjangan atau secara tiba-tiba...

Khamis, 13 Ogos 2009

Hukum Menuntut Ilmu

Apabila kita memperhatikan isi Alquran dan Al Hadist, maka terdapatlah beberapa suruhan yang mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu, agar mereka tergolong menjadi umat yang cerdas, jauh dari kabut kejahilan dan kebodohan.
Menuntut ilmu artinya berusaha menghasilkan segala ilmu, baik dengan jalan bertanya, melihat atau mendengar.
Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam Hadist Nabi Muhammad SAW :
"menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan" (HR. Ibn Abdulbari)

Dari hadis ini kita memperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui segala kemashlahatan dan jalan kemanfaatan, menyelami hakikat alam, dapat meninjau dan menganalisa segala pengalaman yang didapati oleh umat yang lalu, baik yang berhubungan dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup.
Nabi Muhammad bersabda :
"Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya dan barangsiapa yang ingin selamat dan berbahagia di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula. dan barangsiapa yang menginginkan keduanya wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan berguna untuk menuntun kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita di dunia, agar tiap-tiap muslim jangan picik dan agar setiap muslim dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang di ridhai Allah SWT.

Demikian pula Islam mewajibkan kita menuntut ilmu akhirat yang menghasilkan natijah, yaitu ilmu yang diamalkan sesuai dengan perintah-perintah syara.

Hukum wajibnya perintah menuntut ilmu itu adlah wajib ain dan adakalanya wajib kifayah.

Ilmu yang wajib ain dipelajari oleh mukalaf yaitu yang perlu diketahui untuk meluruskan aqidah yang wajib dipercayai oleh seluruh muslimin dan yang perlu diketahui untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang difardukan atasnya, seperti salat, puasa, zakat dan haji. Disamping itu perlu dipelajari ilmu akhlak untuk mengetahui adab sopan santun yang perlu kita laksanakan dan tingkah laku yang harus kita tinggalkan. Disamping itu harus pula mengetahui kepandaian dan keterampilan yang menjadi tonggak hidupnya.

Adapun pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikerjakan sehari-hari maka diwajibkan mempelajarinya kalau dikehendaki akan melaksanakannya, seperti seseorang yang hendak memasuki gapura pernikahan, seperti syarat-syarat dan rukun-rukunnya serta segala yang diharamkan dan dihalalkan dalam menggauli istrinya.

Sedang ilmu yang wajib kifayah hukum mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang hanya menjadi pelengkap, misalnya ilmu tafsir, ilmu hadis dan sebagainya.

Sumber:Abu Noraine

HUKUM MAKAN DAN MINUM SAMBIL BERDIRI

*Hadits-Hadits yang melarang minum sambil berdiri:

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang sambil minum berdiri. (HR. Muslim no. 2024, Ahmad no. 11775 dll)

Dari Abu Sa’id al-Khudriy, beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang minum sambil berdiri. (HR. Muslim no. 2025, dll)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum
sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad
no 8135)

*Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya minum sambil berdiri:

Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.”
(HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)

Dari An-Nazal, beliau menceritakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mendatangi pintu ar-
Raghbah lalu minum sambil berdiri. Setelah itu beliau mengatakan,
“Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri, padahal aku
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana
yang baru saja aku lihat.” (HR. Bukhari no. 5615)

Dalam riwayat Ahmad dinyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Apa yang kalian
lihat jika aku minum sambil berdiri. Sungguh aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah minum sambil berdiri. Jika aku minum sambil duduk maka
sungguh aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil
duduk.” (HR Ahmad no 797)

Dari Ibnu Umar beliau mengatakan, “Di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami
minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan.” (HR. Ahmad no 4587 dan Ibnu
Majah no. 3301 serta dishahihkan oleh al-Albany)

Di samping itu Aisyah dan Said bin Abi Waqqash juga memperbolehkan minum sambil berdiri,diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Zubaer bahwa beliau berdua minum sambil berdiri.(lihat al-Muwatha, 1720 - 1722)

Mengenai hadits-hadits di atas ada Ulama yang berkesimpulan bahwa minum sambil berdiri itu diperbolehkan meskipun yang lebih baik adalah minum sambil duduk. Di antara mereka adalah Imam Nawawi, dalam Riyadhus Shalihin beliau mengatakan, “Bab penjelasan tentang bolehnya minum sambil berdiri dan penjelasan tentang yang lebih sempurna dan lebih utama adalah minum sambil duduk.”

Pendapat Imam Nawawi ini diamini oleh Syaikh Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin,
beliau mengatakan, “Yang lebih utama saat makan dan minum adalah sambil duduk karena
hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak makan sambil berdiri demikian juga tidak minum sambil berdiri. Mengenai minum sambil berdiri terdapat hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan tersebut. Anas bin Malik ditanya tentang bagaimana kalau makan sambil berdiri, maka beliau mengatakan, “Itu lebih jelek dan lebih kotor.” Maksudnya jika Nabi melarang minum sambil berdiri maka lebih-lebih lagi makan sambil berdiri.

Dalam hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dan dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Umar mengatakan, “Di masa Nabi kami makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri. Hadits ini menunjukkan bahwa larangan minum sambil berdiri itu tidaklah haram akan tetapi melakukan hal yang kurang utama. Dengan kata lain yang lebih baik dan lebih sempurna adalah makan dan minum sambil duduk. Namun boleh makan dan minum sambil berdiri. Dalil tentang bolehnya minum sambil berdiri adalah dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Nabi lalu beliau meminumnya sambil berdiri.” (Syarah Riyadhus Shalihin, Jilid VII hal 267)

Dalam kitab yang sama di halaman 271-272, beliau mengatakan, “Sesungguhnya air zamzam
adalah air yang berkah. Nabi mengatakan, “Air zam-zam adalah makanan yang
mengenyangkan dan penyembuh penyakit.” (HR Muslim no 2473) Dalam hadits yang lain
Nabi mengatakan, “Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.” (HR.
Ahmad dan Ibnu Majah dalam Targhib wa Tarhib 2/168 al-Hafidz al-Mundziri mengatakan
tentang hadits ini, diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih.)

Oleh karenanya, jika air zam-zam di minum untuk menghilangkan dahaga maka dahaga pasti lenyap dan jika diminum karena lapar maka peminumnya pasti kenyang. Berdasarkan makna umum yang terkandung dalam hadits kedua tersebut -”Air zam-zam itu sesuai dengan niat orang yang meminumnya.”- sebagian ulama menyatakan orang sakit yang meminum air zamzam untuk berobat maka pasti sembuh, orang pelupa yang minum zam-zam untuk memperbaiki hafalannya tentu akan menjadi orang yang memiliki ingatan yang baik. Jadi, untuk tujuan apapun air zam-zam diminum pasti bermanfaat. Ringkasnya air zam-zam adalah air yang berkah.

Namun, komentar yang paling bagus mengenai hadits-hadits diatas yang secara sekilas
nampak bertentangan adalah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan, “Cara mengompromikan hadits-hadits di atas adalah dengan memahami hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri apabila dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk minum sambil duduk. Hadits-hadits yang melarang minum sambil duduk di antaranya adalah hadits yang menyatakan bahwa Nabi minum sambil berdiri.” (HR Muslim 2024)

Juga terdapat hadits dari Qotadah dari Anas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang minum sambil berdiri. Qotadah lantas bertanya kepada Anas, “Bagaimana dengan makan sambil berdiri?” “Itu lebih jelek dan lebih kotor” kata Anas. (HR. Muslim no. 2024)

Sedangkan hadits-hadits yang membolehkan minum sambil berdiri adalah semisal hadits dari Ali dan Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum air zam-zam sambil berdiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Bukhari dari Ali, sesungguhnya beliau minum sambil berdiri di depan pintu gerbang Kuffah. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang aku lakukan.” Hadits dari Ali ini diriwayatkan dalam atsar yang lain bahwa yang beliau minum adalah air zam-zam sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Abbas. Jadi, Nabi minum air zam-zam sambil berdiri adalah pada saat berhaji. Pada saat itu banyak orang yang thawaf dan minum air zam-zam di samping banyak juga yang minta diambilkan air zamzam, ditambah lagi di tempat tersebut tidak ada tempat duduk. Jika demikian, maka kejadian ini adalah beberapa saat sebelum wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu,hadits ini dan hadits semacamnya merupakan pengecualian dari larangan di atas. Hal ini adalah bagian dari penerapan kaidah syariat yang menyatakan bahwa hal yang terlarang, itu menjadi dibolehkan pada saat diperlukan. Bahkan ada larangan yang lebih keras daripada larangan ini namun diperbolehkan saat diperlukan, lebih dari itu hal-hal yang diharamkan untuk dimakan dan diminum seperti bangkai dan darah menjadi diperbolehkan dalam keadaan terpaksa” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah Jilid 32/209-210)

Sumber: Abu Noraine

SOAL JAWAB AGAMA

Assalamualaikum...
Ustaz saya ingin bertanyakan tentang macammana kedaan seseorang itu yang suka melakukan amalan sunat tetapi amalan wajib dilengahkan contohnya hadir kelas lambat kerana menunaikan solat Dhuha dan mengaji...

Jawab Ustaz:
Di sebut dlm kitab fiqh aulawiyyat-yusuf qardhawi menganai mana yg perlu didahulukan wajib atau sunat??

Mengenai persoalan tuan, belajar hukumnya fardhu ain (wajib), manakala solat dhuha hukumnya sunat..oleh itu dia mesti hadir kuliah tepat masa krn wajib.. solat dhuha waktunya bermula slps matahari naik satu galah (dlm kul 8) sehingga sebelum matahari rembang (lbh kurang 11.50pg)..buatla solat dhuha tu dimasa lain..
“Tidak hampir kepadaku orang yang ingin hampir kepadaKu sebagaimana apabila mereka melaksanakan amalan fardhu / wajib mereka, dan sentiasalah mereka ingin menghampirkan diri mereka kepadaKu dengan mengerjakan amalan sunat sehinggalah aku kasih kepadanya…”
(Riwayat Al-Bukhari)
Amat jelas hadis ini menjelaskan amalan fardhu atau wajib lebih utama di sisi Allah SWT dari yang sunat, walau sehebat mana sekalipun yang sunat itu.

BIDAAH TERPUJI TIDAK BERDOSA

BERWIRID selepas solat, membiasakan diri membaca Yasin pada malam Jumaat dan menyemarakkan sambutan Maulidur Rasul setiap kali Rabiulawal tiba, malah sesekali mengikuti majlis bacaan talqin menjadi kebiasaan dalam masyarakat kita.

Tetapi, sesetengah pihak mendakwa amalan berkenaan bidaah dan perlu ditinggalkan.

Dakwaan itu sungguh mengelirukan. Bagi yang kurang memahaminya, ia boleh menimbulkan perselisihan faham, tuduh menuduh dan kacau bilau.

Hadis diriwayatkan Muslim bermaksud: “Adapun kemudian dari itu, sesungguhnya sebenar-sebenar perkataan itu ialah kitab Allah dan sesungguhnya semulia-mulia petunjuk itu ialah petunjuk Muhammad dan sejahat-jahat perkara ialah diada-adakan, setiap yang diada-adakan itu bidaah dan setiap bidaah sesat dan setiap kesesatan di dalam neraka.”

Ramai gemar mengatakan sesuatu itu bidaah, tetapi persoalannya apa sebenarnya bidaah?

Pengertian bidaah dibahagikan kepada dua iaitu pada bahasa dan istilah. Menurut bahasa ialah nama bagi suatu yang baru diadakan. Bidaah dalam urusan keduniaan tidak dilarang, tetapi dalam keagamaan ditegah.

“Apabila suatu itu dari perkara dunia kamu, maka kamu sekelian lebih mengetahui dengannya dan apabila ada dari urusan agama kamu, maka kepadaku.” (Hadis Riwayat Ahmad bin Anas)

Maksud di sini, dalam urusan dunia manusia bebas meneroka dan memperkenalkan penemuan baru, teknologi baru dan kemudahan baru, bagi kesempurnaan dan meneruskan kelangsungan kehidupan.

Tetapi dalam urusan agama seperti ibadat solat, ia perlu dilakukan berasaskan sunnah, sama ada cara dan rukunnya.

Nabi pernah bersabda, maksudnya: “Solatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan solat.”

Bidaah adalah berlawanan dengan sunnah (jalan Rasulullah dan sahabat), yang sepatutnya menjadi jalan ibadat, tanpa berlebih atau berkurang.

Menurut istilah ulama, bidaah ialah satu jalan atau satu cara perbuatan yang diada-adakan dalam agama, tidak pernah berlaku pada zaman Rasulullah dan sahabatnya, dengan maksud untuk mendampingkan diri kepada Allah atau beribadat kepada-Nya kerana ingin mendapat pahala-Nya.

Timbalan Mufti Selangor, Datuk Abd Majid Umar, berkata bidaah terbahagi kepada dua jenis, seperti ditegaskan Imam Syafie iaitu bidaah terpuji dan tercela.

Imam Syafie berkata: “Bidaah itu dua jenis iaitu: bidaah yang terpuji dan bidaah tercela. Maka, bidaah yang sesuai dengan sunnah adalah terpuji dan bidaah menyalahinya ialah yang tercela.”

“Bidaah terpuji ialah amalan yang membawa kebaikan. Talqin tidak menjadi kesalahan kerana memberikan nasihat yang baik kepada mereka yang hadir.

“Membaca Yasin pada malam Jumaat juga amalan baik. Orang tua dulu mengadakan majlis baca Yasin pada malam Jumaat kerana ia penghulu hari dan mereka mendapati yang paling mudah ialah surah Yasin.

“Mereka berkumpul dalam satu majlis seperti itu setiap malam Jumaat memanglah tidak ada hadis khusus, tetapi ada nas secara umum supaya membaca al-Quran,” katanya.

Secara umum, perkara yang tidak ada pada zaman Nabi tetapi tidak bercanggah dengan anjuran Islam masih dibolehkan untuk dilakukannya.

Menurutnya, dalam majlis persandingan misalnya, walaupun tidak ada dalam agama, jika membawa kebaikan tidak mengapa, tetapi apabila wujud unsur pembaziran, pendedahan aurat dan kelalaian tidak dibolehkan.

“Kenduri itu memang baik dan ia sebagai hebahan kepada umum bahawa si pulan sudah berkahwin. Tetapi jika majlis itu mewujudkan pembaziran, ia dilarang,” katanya.

Ulama ada menerangkan beberapa bidaah yang dilarang, seperti meminta kepada Allah melalui orang mati, bernazar untuk melakukan sesuatu di kubur orang tertentu yang dianggap keramat atau wali, menyerahkan hukum agama kepada akal manusia dan menolak nas dari Allah dan Rasul serta mengerjakan solat dengan cara berlainan dari perintah asal, seperti dua rukuk dan satu sujud.

Bersabit perkara baru dan tidak dilakukan pada zaman Nabi, Abd Majid berkata, pada zaman tabiin dulu ada tetapi mereka melakukan perkara yang elok seperti selepas solat berwirid.

“Memang tidak ada suruhan berwirid selepas solat secara khusus. Tetapi amalan dilakukan golongan dulu yang tidak bertentangan dengan Islam walaupun tidak ada hadis khas boleh diteruskan, termasuk Maulidur Rasul, kita buat walaupun tidak ada suruhan.

“Segala perkara baru tetapi ia ada kebaikan, tidak bertentangan dengan Islam walaupun tidak ada hadis,” katanya.

Dalam hubungan ini, katanya, masyarakat sepatutnya tahu membuat penilaian sesuatu perkara, sama ada boleh dilakukan atau tidak dengan menjadikan prinsip agama sebagai ukuran.

Sumber:Abu Noraine