“Sesungguhnya shalat pasti mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” Wallâhu a’lam bish-shawâb.
Ahad, 10 Oktober 2010
Gelisah Karena Kurang Ibadah
Oleh: Dr. Amir Faishol Fath
Setiap manusia menginginkan ketenangan jiwa. Berbagai cara mereka lakukan. Ada yang berusaha meraihnya dengan mengumpul-ngumpul harta. Tapi setelah harta menggunung, ternyata ketenangan itu tak kunjung datang. Malah sebaliknya, wang yang disimpan ternyata membuatnya serba khawatir. Khawatir banknya bangkrut, atau dirompok, dan lain sebagainya. Semakin banyak harta, justeru semakin membuatnya gelisah.
Hasil penelitian ilmiah membuktikan, bahwa penyakit yang sering dialami masyarakat yang hidup di negara-negara kaya adalah depresi dan kegelisahan. Ed. Diener, psikolog dari University of Illions, pernah meneliti 100 orang Amerika terkaya. Ditemukan, mereka sebahagian besar menderita secara kejiwaan. Kegelisahan selalu menjadi ancaman setiap saat.
Ada juga sebagian orang berusaha meraih ketenangan jiwa di balik karir atau jabatan yang gemilang. Kerja keras pun mereka lakukan dengan segala cara. Karena mereka yakin, bila sukses tercapai, mareka akan dipuja-puja dan banyak dikenal orang dan akan banyak kawan. Dalam persepsi mereka, popularitas karir atau jabatan adalah suatu keniscayaan untuk membuatnya bahagia.
Tapi kenyataan tak semudah yang mereka bayangkan. Dr. Paul Pearsall dalam penelitiannya bertahun-tahun menemukan, banyak orang menderita setelah mereka sukses. Dalam sebuah karyanya, cerpenis Sapardi Joko Damono, pernah melukiskan wajah sebuah rumah tangga modern yang bisa dikatakan sukses secara karir. Ia menuliskan: Seorang suami berkata, ”Saya melihat rumah tangga saya bisa dikatakan sukses secara ekonomi. Saya seorang pegawai negeri. Istri saya pengusaha. Ia sangat sibuk, sampai tak sempat memperhatikan saya. Akhirnya saya selalu tersinggung. Lalu saya pendam keinginan untuk membunuhnya. Biar ia mati di tangan saya, dan saya dijatuhi hukuman mati pula.”
Lain lagi, ada sebahagian orang berusaha menghabiskan waktu di balik rumah-rumah megah atau vila-vila yang indah, untuk meraih ketenangan jiwa. Rutin mereka berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain, mencari pantai-pantai yang mempesona. Di sana mereka lepaskan kegelisahan sambil memandang luasnya lautan dan langit yang tak bertepi.
Tapi, ternyata usaha ini juga tak mampu menyelesaikan masalah. Banyak orang yang tak bisa bertahan lama dalam kehidupan yang monoton seperti itu. Mereka ingin mencari ketenangan. Sementara suasana yang mapan cendrung hanya memberikan rasa istirahat sejenak, setelah itu jenuh datang kembali.
Pernah saya tawarkan kepada beberapa orang yang biasa merasakan hiruk pikuk kota Jakarta. Siapa yang mau digaji secara cukup, kerjanya hanya makan dan tidur di villa megah di kawasan Puncak? Semua menjawab, “Tidak mau!” Ini menunjukkan, bahwa secara fitrah manusia mudah merasa jenuh dan bosan bila tak mempunyai aktiviti.
Sebuah kasus pernah terjadi seorang lelaki baya yang hampir pensiun. Dan ini bisa juga menimpa Anda yang mempunyai persepsi serupa. Lelaki itu berkata, “Setelah aku pensiun nanti, aku mau istirahat. Pagi-pagi aku bangun, minum kopi, baca koran, nonton TV dan lain sebagainya. Siang hari aku istirahat. Sore hari aku nonton TV lagi sambil tidur-tiduran, lalu istirahat.”
Bayangan itu ia ciptakan sebagai kompensasai rasa lelahnya yang selama ini telah bekerja setiap hari, dari pagi hingga sore. Namun setelah pensiunan, ternyata ia malah sering jenuh dengan suasana yang monoton. Ia merasa harus segera mencari kegiatan lain. Terbukti, di masyarakat kita, kini tak sedikit para pensiunan yang bekerja lagi, mengisi hari tua mereka.
Ini menunjukkan, manusia selalu membayangkan ingin mendapatkan ketenangan hakiki. Tapi bayangan ketenangan itu seringkali lebih berupa kesenangan duniawi. Akibatnya, hampir setiap kesenangan yang mereka bayangkan tak sesuai dengan harapan mereka.
Sementara, ada sebagian orang berusaha meraih ketenangan jiwa dengan cara menyibukkan diri. Bila sedikit ada waktu kosong selepas kerja rutin di kantor, ia segera mencari kegiatan lain. Entah main golf, footsal, atau lainnya. Tapi ini juga tak selamanya menjadi solusi. Sebab, dengan terus bekerja, seseorang telah menjadikan tubuhnya sama dengan mesin. Lama kelamaan ia akan melemah dan loya.
Karena itu, banyak sekali kasus bunuh diri terjadi di Jepang, karena alasan ketercekaman jiwa. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, angka bunuh diri di Jepang setiap tahun mencapai sedikitnya 30.000 jiwa. Bahkan, karena terlalu banyaknnya kasus bunuh diri yang dilakukan manusia modern, di banyak situs internet, bisa kita temukan ada yang mengajarkan cara melakukan bunuh diri dengan cepat.
Kebuntuhan Jiwa
Gambaran ringkas di atas, tersimpulkan bahwa untuk mengurus jiwa, kita tak bisa melakukannya dengan sederhana. Yang perlu diingat, jiwa kita ini ada yang menciptakannya. Maka tak mungkin kita isi jiwa kita seenak nafsu. Kita harus belajar kepada Sang Pencipta. Upaya apapun untuk mengisi jiwa, jika tak sejalan dengan tuntunan sang Pencipta, manusia pasti akan menderita.
Dalam urusan sederhana saja, sebut misalnya, kita membeli mobil. Kita tentunya butuh buku panduan (guide) cara menjalankan kendaraan itu dengan baik. Sangat tidak mungkin jika buku panduan itu kita ambil dari pabrik mobil berbeza. Begitu pula dengan jiwa. Sangat tak mungkin kita memberi kebutuhan jiwa kita seenak hati.
Untuk itu, Allah SWT Sang Pencipta telah menurunkan buku bimbingan, yaitu al-Qur`an. Tak cukup dengan Kitab itu, Allah utus pula seorang Rasul atau Nabi sebagai instruktur dan panutan bagaimana seharunya melaksanakan kandungan buku suci tersebut.
Itulah makna ayat dalam surah ’Abasa [80] ayat 20, “Kemudian Dia memudahkan jalannya.” Para ulama tafsir menilai, maksud ”mempermudah jalan” adalah bahwa Allah tak hanya menyediakan segala kebutuhan fisik manusia. Baik berupa air, udara, maupun makanan, tapi lebih dari itu, Allah telah sediakan kebutuhan jiwa mereka. Diutusnya para Nabi dan Rasul adalah untuk mengajarkan cara memberi makan kepada jiwa.
Sebab, kebutuhan jiwa tak bisa dibuat sesuka hati. Kebutuhan jiwa harus diperoleh secara talaqqî dari Sang Pencipta. Maka, tak ada pilihan bagi manusia mengisi kebutuhan jiwanya, kecuali harus ikut apa kata Sang Pencita secara harfiah. Jangan diubah-ubah, ditambah-tambahi, atau dikurangi. Nabi SAW menegaskan, ”Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan agama (ibadah) dan tak mempunyai dasar hukum, maka ia ditolak.” (HR. Bukhari Muslim)
Begitulah tegasnya Islam dalam urusan menjaga jiwa. Sebab, jiwa adalah inti manusia. Dan manusia hanya menjadi rangka mati tanpa jiwa. Karena itu, mengurus jiwa harus dilakukan sungguh-sungguh dan serius. Lebih dari itu, lakukan langkah-langkah efektif dengan mengikuti tuntunan Allah.
Perlu diingat, makanan jiwa bukanlah materi. Sebab jiwa bersifat spritual, dan ia butuh makanan yang spritual pula. Untuk mendapatkan hakikat spritual, manusia tak bisa mereka-reka dengan otaknya yang sangat terbatas dan serba relatif. Tapi harus kembali kepada Sang Pencipta Yang Maha Benar.
Mereka-reka kebutuhan jiwa, akan membuat manusia terjebak dalam kelelehan tanpa akhir. Akibatnya, ia akan putus asa. Itulah sebab utama mengapa manusia modern banyak yang melakukan bunuh diri.
Dzikirullah
Tak mungkin manusia menipu jiwanya. Silahkan cari cara-cara untuk menghindar dari kebutuhan jiwa yang hakiki. Pasti, jiwa akan meronta-ronta. Jiwa tak membutuhkan apa-apa, selain ibadah. Dan inti setiap ibadah adalah dzikrullah.
Karenanya, ketika menjelaskan rahsia shalat, Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tiada Tuhan (yang haq) selain Aku. Maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Qs. Thâha [20]: 14)
Mengapa shalat disyariatkan untuk mengingat Allah? Imam Ibn Asyur dalam tafsirnya menjawab, sebab dengan shalat seseorang akan menyadari hakikat kehambaannya di depan Sang Pencipta. Kesadaran semacam ini, dalam istilah hadits Nabi SAW disebut sebagai ihsân. “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan melaihat-Nya. Bila tak melihat-Nya, sadari bahwa Dia melihatmu.”
Dalam surah al-Mu`minûn [23] ayat 2, disebutkan ciri seorang mukmin hakiki. Di antaranya, menegakkan shalat dengan khusyu’. Terlihat, shalat bukan semata dikerjakan oleh fisik, tapi harus juga melibatkan jiwa, agar khusyu’.
Ibn Taimiah dalam Majmu’ al-Fatâwa menjelaskan, tanpa khusyu’, shalat akan kehilangan kualitasnya. Karena itu, Ibn Taimiah menilai, khusyu’ merupakan syarat diterimanya shalat. Alasannya, Allah telah menjelaskan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, seorang mukmin harus mengerjakan shalat dengan khusyu’. Artinya, bila shalatnya tidak khusyu’, maka kebahagiaan tak akan dicapai.
Itulah rahsia mengapa dalam surah al-Mâ’ûn [107] ayat 4 Allah berfirman, ”Maka celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya.” Dari sini terjawab, mengapa banyak orang shalat tapi masih saja berbuat maksiat. Itu karena shalatnya baru fisik, sementara jiwanya kosong.
Jelas, jiwa membutuhkan ibadah. Dan hakikat ibadah adalah dzikrullâh. Bila seorang muslim menegakkan ibadah dengan sungguh-sungguh, penuh penjiwaan, dan khusyu’, maka ia akan mencapai ketenangan. Inilah makna ayat, ”Ingatlah, bahwa hanya dengan dzikrullah hati akan tenang.” (Qs. ar-Ra’d [13]: 28)
Dalam surah Thâha [20] ayat 124, Allah berfirman, ”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Jelaslah sudah, betapa dzikrullâh merupakah jalan satu-satunya menuju ketenangan jiwa. Bila ketenangan dicapai, maka ia akan terjaga dari dosa-dosa. Inilah makna firman Allah,
“Sesungguhnya shalat pasti mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” Wallâhu a’lam bish-shawâb.
“Sesungguhnya shalat pasti mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” Wallâhu a’lam bish-shawâb.
Langgan:
Catat Ulasan (Atom)
0 comments:
Catat Ulasan