Aqidah secara etimologi dari asal kata ’aqada – ya’qidu yang bermakna mengikat sesuatu, jika seseorang mengatakan (aku ber’itiqad begini) artinya saya mengikat hati dan dhamir terhadap hal tersebut. Dengan demikian kata aqidah secara terminologi bermakna : sesuatu yang diyakini sesorang, diimaninya dan dibenarkan dengan hatinya baik hak ataupun batil.
Sedangkan makna aqidah ditinjau dari pengertian syariat Islam adalah beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya beriman kepada hari akhir dan taqdir (ketentuan) Allah yang baik maupun buruk.
Allah berfirman yang artinya:
”Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya dan kitab yang diturunkan kepda Rasul-Nya dan kitab yang diturunkan sebelum itu, dan barangsiapa yang kufur kepada Allah, dan malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir benar-benar ia telah sesat dengan kesetan yang jauh.” (QS. An-Nisa’ 136)
Adapun mengenai takdir, Allah berfirman yang artinya:
”Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ketentuan” (QS. Al-Qamar: 49)
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqon: 2)
Apa yang disebutkan diatas dari pengertian aqidah secara syar’i merupakan pokok-pokok aqidah Islam yang dinamakan dengan Arkanul Iman (rukun-rukun iman) atau Al-Ushulusittah (dasar-dasar keimanan yang enam). Dari keenam pokok keimanan inilah akan bercabang semua masalah aqidah lainnya yang wajib diimani oleh setiap muslim baik berkaitan dengan hak-hak Allah, urusan akhirat maupun masalah-masalah ghaib lainnya.
Kedudukan dan Peran Aqidah dalam Islam
Aqidah merupakan misi pertama yang dibawa para rasul Allah.
Allah berfirman yang artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An-Nahl: 36)
Manusia diciptakan dengan tujuan beribadah kepada Allah.
Allah berfirman yang artinya:
”Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Dan bahwasanya amal ibadah seseorang tidak diterima kecuali jika bersumber dari aqidah yang benar.
Allah berfirman yang artinya:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir lalu mengerjakan amal kebajikan maka bagi mereka pahala di sisi Tuhan mereka.” (QS. Al-Baqarah: 62)
”Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan (pada nabi) sebelum kamu jika kamu berbuat ke syirikan niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Az-Zumar: 65)
Dan Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
”Barangsiapa mengada-ngada dalam urusan agama ini sesuatu yang baru yang bukan darinya maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari)
Aqidah yang benar dibebankan kepada setiap mukallaf.
Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya :
”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang sebenarnya selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul utusan Allah.” (Muttafaq ‘alaih)
Berpengang kepada aqidah yang benar merupakan kewajiban manusia seumur hidup.
Allah berfirman yang artinya:
”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah kemudian merkea beristiqomah (teguh dalam pendirian mereka) maka para malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata) : “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang dijanjikan Allah kepadamu.”(QS. Fushilat: 30)
Dan Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
”katakanlah: Aku beriman kepada Allah kemudian beristiqomah-lah (berlaku lurus-lah) kamu.” (HR. Muslim dan lainnya)
Aqidah merupakan akhir kewajiban seseorang sebelum meninggalkan dunia yang fana ini.
Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Barangsiapa yang akhir ucapannya “Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah niscaya dia akan masuk surga”. (HSR. Al-Hakim dan lainnya)
Aqidah yang benar telah mampu menciptakan generasi terbaik dalam sejarah umat manusia, yaitu generasi sahabat dan dua generasi sesusah mereka.
Allah berfirman yang artinya:
”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran: 110)
Dan Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
”Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku (yaitu para sahabat) kemudian yang berikutnya (yaitu generasi tabi’in) kemudian berikutnya (yaitu generasi tabi’ut-tabi’in).” (HR. Bukhari, Muslim dan lainnya).
Kebutuhan manusia akan aqidah yang benar melebihi segala kebutuhan lainnya karena ia merupakan sumber kehidupan, ketenangan dan kenikmatan hati seseorang. Dan semakin sempurna pengenalan serta pengetahuan seorang hamba terhadap Allah semakin sempurna pula dalam mengagungkan Allah dan mengikuti syari’at-Nya.
Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
”Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dan paling mengetahui-Nya diantara kamu sekalian adalah aku.” (HR. Bukhari)
Sumber Aqidah Islam
Aqidah adalah sesuatu yang harus berdasarkan wahyu, oleh sebab itu sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an Al-karim dan sunnah Nabi saw yang shahih sesuai dengan apa yang difahami oleh para sahabat Nabi saw, karena mereka telah diridhai oleh Allah ta’ala.
Allah berfirman yang artinya:
“Adapun jika datang kepada kamu sekalian petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 132)
Dalam menafsirkan ayat tersebut diatas Abdullah bin Abbas ra berkata yang artinya:
”Allah menjamin siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan kandungannya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat kelak” (Dikeluarkan oleh ibnu Abi Syaihah, Al-Hakim dan dishahihkannya)
Allah berfirman tentang ucapan-ucapan Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam yang artinya :
”Dan tidaklah dia (Muhammad) berkata menurut kemauan hawa nafsunya. Perkataannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4)
Allah berfirman yang artinya:
”Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kita (Al-Qur’an) dan hikmah (As-Sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)
Adapun pengukuhan Allah akan kebenaran para sahabat nabi saw di dalam aqidah, ibadah dan akhlaq/muamalah mereka serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam banyak ayat-ayat Al-Qur’an, diantaranya artinya:
”Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereke kekal didalamnya selama-lamanya itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Dan ketika Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam ditanya tentang kelompok yang selamat beliau menjawab:
”Mereka adalah orang-orang yang berada di atas sesuatu seperti yang aku dan para sahabatku berada di atasnya pada hari ini”. (HR. Ahmad)
Kesimpulan:
Dari uraian diatas berserta dalil-dalilnya yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam, kita mengetahui betapa pentingnya Aqidah yang benar dalam membentuk manusia baik secara individu maupun sebagai komunitas.
Wallahualam
Dr:UZ
4 comments:
Berpegang dengan akidah yang benar lagi murni adalah syarat pertama bagi seseorang mengaku dirinya beragama Islam dan menjadikan Islam sebagai cara hidupnya. Pegangan tersebut mestilah selari dengan apa yang terkandung di dalam Kitabullah (Al-Quran) dan sunnah Rasulullah s.a.w. Ia mestilah beriman dengan apa yang telah diimani oleh orang-orang Islam terdahulu yang terdiri dari angkatan Salafus-Saleh serta para Imam penyampai agama ini yang telah diakui kebaikan, kebaktian serta ketakwaan mereka. Mereka ini mempunyai kefahaman yang mendalam lagi bersih dalam urusan agama.
Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadat kepadaKu. Aku tidak sekali-kali menghendaki sebarang rezeki pemberian dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepadaKu. Sesungguhnya Allah Dialah sahaja Yang Memberi rezeki (kepada sekalian makhlukNya, dan Dialah sahaja) Yang Mempunyai Kekuasaan yang tidak terhingga, lagi Yang Maha Kuat Kukuh kekuasaanNya.
(Surah Al-Zariyat 51: Ayat 56-58)
Demi diri manusia dan Yang menyempurnakan kejadiannya (dengan kelengkapan yang sesuai dengan keadaannya); Serta mengilhamkannya (untuk mengenal) jalan yang membawanya kepada kejahatan, dan yang membawanya kepada bertakwa; Sesungguhnya berjayalah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih bertambah-tambah bersih (dengan iman dan amal kebajikan), Dan sesungguhnya hampalah orang yang menjadikan dirinya yang sedia bersih itu susut dan terbenam kebersihannya (dengan sebab kekotoran maksiat).
(Surah al-Syams 91: Ayat 7-10)
Dan firman Allah s.w.t;
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Tiap-tiap diri terikat, tidak terlepas daripada (balasan buruk bagi amal jahat) yang dikerjakannya.
(Surah Al-Muddathir 74: Ayat 38).
Saya juga mestilah beriman bahawa urusan penciptaan undang-undang itu adalah hak mutlak Allah s.w.t. Tidak harus sama sekali manusia mendahului atau membelangkanginya. Apa yang dibolehkan ialah ilmuan Muslim atau para ulama' berijtihad mengeluarkan hukum-hukum dari nas-nas Syari'at dalam batas-batas yang diizinkan. Firman Allah s.w.t:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Dan (katakanlah wahai Muhammad kepada pengikut-pengikutmu): Apa jua perkara agama yang kamu berselisihan padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Hakim yang demikian kekuasaanNya ialah Allah Tuhanku; kepadaNyalah aku berserah diri dan kepadaNyalah aku rujuk kembali (dalam segala keadaan).
(Surah Al-Syura 42: Ayat 10)
Saya mestilah berusaha mengetahui nama-nama dan sifat-sifat Allah yang layak bagi kemuliaanNya. Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah s.a.w telah bersabda:
لِلَّهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا لَا يَحْفَظُهَا أَحَدٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَهُوَ وَتْرٌ يُحِبُّ الْوَتْرَ
"Allah s.w.t mempunyai sembilan puluh sembilan nama, kurang satu seratus. Sesiapa yang menghafaznya akan memasuki syurga. Allah itu ganjil (tunggal) dan menyukai (bilangan) yang ganjil." (Hadis riwayat Bukhari & Muslim)
Saya mestilah berfikir merenungi kehebatan kejadian-kejadian Allah, bukan memikirkan tentang ZatNya sebagai mengikuti dan mentaati perintah Rasulullah s.a.w:
تفكروا فى خلق الله ولا تتفكروا فى الله فإنكم لن تقدروا قدره
"Berfikirlah kamu tentang makhluk ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan tentang ZatNya kerana kamu tidaklah mengetahui keadaan sebenarnya."
(Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim di dalam Al-Halyah dan Al-Asbahani meriwayatkannya di dalam Al-Taghrib wa Al-Tarhib)
syukran ibnu...terlalu byk input bguna yg ibnu kngsi kt teratak..mga dpt dimanfaatkan oleh semua..InsyaALLAH
Catat Ulasan